Selasa, 12 April 2011

Kebaya, oh, Kebaya...

Malam ini saya baru pulang dari kegiatan religi menjelang Paskah. Karena ingin berpartisipasi dalam ritus tahunan ini maka saya dan suami menyetujui tawaran yang diberikan kepada kami. Alhasil, kami pun menghabiskan malam kami di Gereja. Si kecil pun kami bawa karena nggak ada yang menjaga di rumah.

Sesampainya di sana ternyata lumayan ramai. Jadi sempat terpikir kenapa tadi tidak membuat kue dan membawanya ke sana untuk dinikmati bersama, sekalian promosi. Hehehe... (^_^) Apa daya penyesalan selalu datang terlambat... Lain kali pasti saya akan antisipasi...

Setelah menunggu cukup lama (putri saya sudah banjir keringat karena kegirangan lari sana sini bersama teman-teman barunya) akhirnya giliran kami gladi resik untuk tugas pembawa persembahan. Mudah saja. Tinggal maju bersama barisan, menyerahkan persembahan, menunggu yang lain selesai, memberi hormat dan kembali ke tempat. Yang membuat saya dan suami berdua adu pandang adalah ucapan sang panitia yang menyatakan bahwa kami harus mengenakan pakaian nasional, yang berarti saya mengenakan kebaya dan suami mengenakan jas.

Bukannya tidak cinta Indonesia atau hal lainnya, saya ini tidak punya kebaya yang layak dipakai untuk acara suci seperti ini. Pengalaman saya berkebaya hanya berkisar di wisuda perguruan tinggi dan hari Kartini sewaktu masih kerja dulu. That's it! Kebaya yang saya punya pun boleh pemberian grup paduan suara Gereja yang saya ikuti jaman baru lulus kuliah. Jangan tanya kebaya waktu wisuda... Sudah nggak muat!! Dan lagi sudah entah kemana.

Demikian pula dengan suami. Kecintaannya pada binaraga telah mengantarnya memiliki badan yang jaaaaaauuuuuuhhhhhhh (biar kelihatan penekanannya) berbeda dengan badannya yang dulu dipakai untuk mengukur jas nikah. Hahaha... saya memang ada sedikit peran di situ. Mungkin karena setiap hari makan masakan saya??? (Bukan menyombong, tapi memang saya ini sangat gemar memasakkan makanan yang disuka keluarga, terlebih suami)

Begitulah, alhasil, kami berdua bilang ke panitia bahwa kami tidak punya kostum yang diharapkan oleh mereka di hari - H. Awalnya mereka kecewa, dan mau meminjamkan salah satu kebaya dari orang yang besar badannya dua kali saya.... Jelas-jelas saya tolak (maaf, bukan saya menganggap badan saya bagus atau apa... tapi secara kasat mata pun kelihatan kok bedanya). Akhirnya demi tercapainya kedamaian, saya menjawab singkat : "Nanti akan saya coba cari kebaya, deh, Bu"

Suami dan saya mencoba mencari solusinya di perjalanan pulang. Akhirnya dia akan mencoba pinjam jas pada adik saya yang ukuran badannya 11 - 12 dengan suami. Nah, satu masalah dapat titik terang. Sekarang giliran saya, saya benar-benar harus melakukan sesuatu; bongkar lemari, bongkar dompet pula (mudah-mudahan yang terakhir ini tidak perlu terjadi) untuk memenuhi keinginan sang ibu panitia. Saya benar-benar harus memutar otak nih... karena kalau cari kebaya sungguhan, sesudahnya pasti tidak akan terpakai, terpojok di dasar lemari atau bikin penuh gantungan saja. Kepinginnya cari kebaya yang murah, mudah dan re-useable alias bisa dipakai lagi. Kalau nggak dapat.... terpaksa harus improvisasi dengan kebaya ala kadarnya yang sudah saya punya, mungkin beli kainnya? Kan nggak mungkin pakai kain naga gendongan anak saya untuk 'jarik'nya??

Sekali lagi filosofi masak yang saya temui di kehidupan sehari-hari saya. Kepinginnya masak steak daging yang tebal dan lezat... apa daya yang ada di kulkas atau lebih parah lagi: isi dompet hanya mampu membeli: Tahu - Tempe. Hehehe... ekstrim banget ya perbandingannya. Improvisasi lah yang pegang peranan. Beli tempe, hancurkan. Bumbui dengan paprika cincang, bawang bombay cincang, bubuk bawang putih, kaldu bubuk dan tepung roti. Bikin bentuk burger, panggang sampai matang. Lalu buat saus steak dengan tomat, kecap manis, kecap inggris, bawang bombay dan bawang putih cincang. Jadi deh....

Kalau masakan sih nggak masalah yaa... Tapi kalau baju??? Kan menyangkut penampilan saya. Bagaimana ini? Kebaya, oh, Kebaya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar